Dia terduduk di atas kasurnya. Bantal, guling, boneka-boneka kecilnya melingkarinya yang dibungkus selimut tebal miliknya. Terdengar ketukan bunga dandelion tak bermahkota di jendela kamarnya. Langit gelap, medung tebal, lengkap dengan hujan deras terlihat dari korden yang tertutup separuh. Dia masih menulis sesuatu di buku hariannya. Matanya sembap, bekas menangis seharian. Dia sampai di kata terakhir dan menitikkan tanda baca titik penuh emosi, lalu melemparkan buku itu ke arah pintu.
Orang yang sedari tadi mengetuk pintu kamarnya dan tak dihiraukan memaksa masuk meski tak diijinkan. Anak laki-laki itu mengambil buku yang baru saja dilempar si gadis.
Orang yang sedari tadi mengetuk pintu kamarnya dan tak dihiraukan memaksa masuk meski tak diijinkan. Anak laki-laki itu mengambil buku yang baru saja dilempar si gadis.
"Boleh kubaca novelmu yang belum selesai ini?" tanyanya sambil tersenyum.
Bila menenggelamkan diri dalam selimutnya, sampai hanya matanya yang nampak.
Bila menenggelamkan diri dalam selimutnya, sampai hanya matanya yang nampak.
"Kamu marah, toh, La?" duduk bersimpuh di lantai sambil mulai membuka buku yang dipegangnya. Seketika Bila keluar dari benteng bonekanya, melompat, meraih bukunya. Arik terhenyak, terkejut ketika tiba-tiba Bila menyambar buku ditangannya. Dilihatnya Bila berdiri, memandang Arik dengan mata sayunya. Tangan Arik menepuk-nepuk lantai kosong di depannya, meminta Bila duduk. Bila melangkah manut, setelah meletakkan buku hariannya di bawah benteng bantal, selimut, dan bonekanya.
Arik memulai penebusan dosanya dengan meminta maaf. Suara hujan di luar benar-benar sirna tergantikan dengan pengakuan si jakung Arik . Mulutnya tak berhenti berkalimat, berparagraf, untuk menenangkan gadis manis di hadapannya itu. Kedua mata Bila beradu dengan mata Arik. Arik tak gugup sedikitpun, karena yang ia katakan semua benar. Kedua tangannya yang sibuk mendramatisasi kisahnya kemudian membeku. Kata-katanya terhenti, sementara hatinya kemudian berdegup cepat saat melihat Bila menangis. Hatinya tercekat, tak sanggup, lemah akan tangisan, bukan sembarang orang yang menangis, Bila.
Arik memulai penebusan dosanya dengan meminta maaf. Suara hujan di luar benar-benar sirna tergantikan dengan pengakuan si jakung Arik . Mulutnya tak berhenti berkalimat, berparagraf, untuk menenangkan gadis manis di hadapannya itu. Kedua mata Bila beradu dengan mata Arik. Arik tak gugup sedikitpun, karena yang ia katakan semua benar. Kedua tangannya yang sibuk mendramatisasi kisahnya kemudian membeku. Kata-katanya terhenti, sementara hatinya kemudian berdegup cepat saat melihat Bila menangis. Hatinya tercekat, tak sanggup, lemah akan tangisan, bukan sembarang orang yang menangis, Bila.
Arik mengedarkan pandangannya ke langit-langit kamar Bila, menengadahkan tangannya, mencoba menangkap sesuatu. Tepat di atas kening Bila, ditelungkupkan kedua tangannya melindungi wajah Bila.
"Genting kamarmu bocor, La!" berusaha menghentikan tangisan Bila. Bila meraih tangan Arik, memperlihatkan wajahnya yang melas. Air matanya terus mengalir deras, seperti tersembur dari sumber air mata dari dalam hatinya.
"Aku ndak papa, kok, Rik!" sambil mengusap ingusnya, "pergi saja! Toh, kita ndak pernah akur selama ini."
Arik terdiam sendirian di kamar Bila, memandangi tempat tidur Bila yang berantakan. Dibayangkannya betapa nyamannya selimut hangat itu saat hujan lebat seperti saat ini. Arik hanya menelan ludah, berdiri, mungkin dia hanya perlu menuruti permintaan Bila.
Aku ini hujan baginya, hujan di hari cerahnya
Arik terdiam sendirian di kamar Bila, memandangi tempat tidur Bila yang berantakan. Dibayangkannya betapa nyamannya selimut hangat itu saat hujan lebat seperti saat ini. Arik hanya menelan ludah, berdiri, mungkin dia hanya perlu menuruti permintaan Bila.
Aku ini hujan baginya, hujan di hari cerahnya
Hujan yang menjauhkannya dari sang matahari, langit biru, serta kebahagiaannya
Padahal aku ingin juga menunjukkan padanya warna-warni pelangi yang kubuat,
untuknya.